logo anne ahira
AnneAhira.com    Belanja    Buku    Kumpulan Cerpen
Loading...

Ruang Cerpen Kompas yang Menjadi Idola


Loading...

Ilustrasi cerpen kompas

Harian Kompas adalah surat kabar ternama yang termasuk beroplah tinggi dan beredar cukup merata di penjuru tanah air. Sajian berita yang lengkap dan mendalam menjadi andalan harian yang lahir pada 28 Juni 1965 ini dan beberpa kolom cerpen kompas yang juga banyak diminati.

Salah satu rubrik tetap yang menarik adalah halaman seni dan hiburan. Di bagian seni khususnya, ruang cerpen dan puisi, seolah menjadi penyeimbang berita-berita yang dinamis setiap harinya.

Cerpen Kompas

Cerpen pada Kompas seakan-akan telah dianggap sebagai barometer cerpen koran Indonesia yang terus tumbuh. I Nyoman Darma Putra dalam kata pengantarnya di Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2003, menyebutkan bahwa tak sedikit mahasiswa Australia yang meneliti tentang cerpen, lantas mengambil contoh cerpen yang dimuat di Kompas.

Penyebaran Kompas yang cukup luas di tanah air dan kualitas isinya membuat ruang cerpen harian ini menjadi salah satu yang diminati pula. Ketertarikan para penulis berlomba-lomba mengirimkan cerpen ke Kompas membuat seleksi yang terjadi cukup ketat hingga terpilih karya terbaik layak muat.

Tanpa disadari harian Kompas menjadi semacam "standar" bagi seorang penulis agar karyanya "diakui". Meskipun tak berarti karya fiksi di harian lain tak kalah apik dan mengesankan. Namun, nama besar dan penyebaran Kompas yang tak diragukan lagi membuat asumsi ini terus berkembang sampai sekarang.

Setiap penulis memiliki cara-cara tersendiri dalam membuat sebuah cerpe. Kadang ada yang memulai dari satu tokoh, ada juga yang menyusun ending terlebih dahulu baru menyusun konflik dan sebagainya. Semua itu sah-sah saja, tergantung di mana kita merasa enjoy untuk memulai menulis. Namun, secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut.

Terlebih dahulu tentukan tema apa yang akan diangkat menjadi sebuah cerpen narasi yang memikat. Temukan tema yang unik dari pengalaman pribadi atau orang lain. Bisa juga dari bacaan, tontonan, atau hal-hal lain yang mengusik imajinasi kita.

Selanjutnya menetapkan sasaran pembaca. Hal ini bermanfaat nantinya untuk memfokuskan jalan cerita dan gaya bahasa yang dipakai dalam menulis sebuah cerpen narasi. Selain itu, juga bermanfaat untuk menentukan nilai sugestif apa yang mau diselipkan dalam cerita ini nantinya.

Tetapkan tokoh, perwatakan, latar, dan sudut pandang. Empat hal ini nantinya akan berperan penting dalam menciptakan konflik dalam sebuah cerpen narasi. Semakin unik watak tokoh dan latar yang diciptakan maka konflik yang bisa dirancang akan semakin menarik. Konflik merupakan nyawa dalam sebuah cerpen narasi. Cerita tidak akan hidup tanpa konflik yang unik.

Kemudian gambarkan peristiwa. Peristiwa adalah penjabaran dari konflik dalam sebuah cerita. Tetapkan sebuah peristiwa utama yang akan terjadi dalam cerpen narasi tersebut.

Ini adalah langkah sistematis yang bisa ditempuh dalam menyusun sebuah cerpen narasi. Namun, untuk menulis yang diperlukan hanyalah tindakan memproduksi kata-kata. Bukan mengurutkan setiap langkah-langkah.

Karakteristik Cerpen Kompas

Cerpen yang dimuat rata-rata mempunyai nilai original, yang membuatnya unik dan berbeda dengan yang lain. Kebaruan (orisinilitas) ini berlaku pada tema, isi, alur, dan cara bercerita. Penggunaan kata-kata kasar dan kurang beretika dihindari serta tak menyinggung SARA. Dalam cerpen-cerpen dari Kompas bisa ditemukan nuansa lokal dan luar yang sama menariknya.

Antologi Cerpen Kompas

Tahun 1992 Kompas memulai tradisi membuat buku kumpulan cerpen yang pernah dimuat di media tersebut. Dalam penyusunan buku ini dilakukan proses pemilihan cerpen dari semua naskah yang pernah dimuat dalam Kompas. Editor dan timnya akan menentukan beberapa cerpen untuk dimasukkan dalam antologi.

Kriteria pemilihan editor terkadang menuai pro dan kontra, mengingat hal ini sangat terkait dengan selera editor yang bisa jadi berbeda dengan masyarakat awam. Toh tetap saja kumpulan cerpen Kompas dinanti sebagai pustaka yang menambah kekayaan khasanah sastra tanah air.

Beberapa judul antologi cerpen pada Kompas yang telah terbit adalah Dua Kelamin bagi Midin: Kumpulan Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas, dan Ripin: Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006. Para penulis yang karyanya telah dimuat di Kompas antara lain Danarto, Eka Kurniawan, Agus Noor, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Djenar Maesa Ayu, dan lainnya.

Berikut ini akan diceritakan sekilas sebuah cerpen narasi yang berjudul “Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah” karya Marga T, di dalam Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980.

Kalau aku kebetulan datang pagi dan dosen kebetulan belum datang, dan Sri juga terlambat,senang sekali aku berdiri di muka kebun yang gundul itu. Menjaga sinar matahari. Kadang-kadang aku bersandar pada tiang dan begitu saja menerawang langit-langit, memikirkan segala pikiran yang terpikirkan waktu itu. Sayang sekali kebun itu tak terpelihara.

Bila rumput-rumput sudah panjang, bukan dipotong, tapi malah dibakar oleh Pak Kebun. Pohon-pohon tak ada. Cuma bunga-bunga serdadu di pinggiran menerpa pandangan: putih dan merah jambu. Melewati kebun, mata leluasa memandangi pasien-pasien tengah berjemur atau duduk-duduk.

Ada sebuah kamar yang menarik perhatianku. Sebab, isinya cuma seorang. Perempuan tua. Rupanya penghuni lain sudah pulang dan pasien lain belum ada. Sebab, kebun itu tidak luas, jelas terlihat olehku wajah perempuan itu. Sudah tua. Keriput. Menurut suster Rosi: dia sakit kuning. Tapi, tidak jelas. Pada kulitnya yang sawo matang. Mungkin terlihat juga bila aku memeriksa matanya.

Seringkali aku berdiri di situ memandangi perempuna itu. Macam-macam pikitan hinggap. Begitulah kalau sudah tua. Menurut suster: jarang ditengok. Begitulah kalau sudah tak berguna. Menyusahkan orang. Tidak dikehendaki. Suster Rosi membantah pendapatku.

“Mungkin juga keluarganya miskin sehingga tidak mampu mengunjunginya tiap hari,” kata suster.

“Ah, mana boleh jadi. Masakan orang tua sendiri ditelentarakan begitu.”

Dalam otakku, tidak masuk akal bahwa orang bisa begitu miskin sehingga mengunjungi ibu yang sakit tidak mampu.

Sudah seminggu aku gelisah dan kesal. Ada sebuah undangan kawin yang harus aku hadiri. Untuk itu, aku perlu baju dan sepatu. Karena semua baju pesta di lemari sudah pernah dipakai, maka aku membutuhkan baju biru dengan dasar putih. Memang baju itu bagus.

Aku menyukainya. Tapi, justru ibu menyarankan itu, maka aku jadi tidak menyukainya dan memutuskan: bagaimanapun tidak akan memakainya. Masih ada baju hijau, kata ibu. Atau yang anggur. Yang cokelat dengan leher putih.

“Tidak,” kataku keras kepala. “Saya harus mendapat baju baru. Ini kan pesta kawin, Bu. Dan, sudah hampir setahun, saya tidak membuat baju pesta.”

“Ya betuk,” sahut ibu. “Tapi, soalnya: bukan tidak boleh. Cuma tidak ada uang. Uang sedang susah sekarang. Barang kali bulan depan, kalau ayah mendapat rezeki...”

“Aaah selalu alasan ibu seperti itu. Kalau saya mempunyai uang, tentu takkan saya minta pada ibu. Kan saya mesti sekolah. Sekolah. Kalau saya boleh bekerja, saya tentu akan mendapat uang. Dan, ibu tidak pusing. Jadi, kan?”

Ibu sedih lalu pergi. Baju baru: tidak. Sepatu baru: juga tidak. Untuk kado: saputangan. Minyak wangi. Aduuuh! Kemanakah rencana muluk-muluk itu? Mau beli blus biru sepati go-go. Teh-Servis.

Sudah pasti aku terlambat. Kuliah kedua baru akan mulai jam sembilan atau setengah sepuluh. Aku jalan pelan-pelan. Di pintu gerbang rumah sakit, aku dengar langkah orang di belakangku. Wah, teman senasib: sama-sama telat. Aku menoleh seorang perempuan muda yang tidak cantik, tengah berjalan menunduk.

“Mau besuk, Zus?” tanyaku iseng.

Perempuan itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum dan berjalan di sampingku. Wajahnya hitam. Rambutnya kering. Bajunya lusuh dan tua. Sandalnya juga tua. Di tangannya ada sebuah keranjang rotan yang agak kotor. Berisi botol dan barang-barang lain yang tidak aku perhatikan.

“Ia. Besuk itu...”

“O, sakit apa?”

“Sakit kuning. Sudah sebulan.”

“O, sudah lama. Tiap hari kemari?”

“”Tidak tentu,” katanya memelas.

“Kalau ada ongkos bus, saya pergi. Saya tinggal dekat Megaria. Dari situ saya jalan ke tempat bus. Lalu naik sampai kemari: seringgit. Pulang, seringgit. Jadi, lima rupiah. Tempo-tempo juga, kalau bagaimana, saya tidak pergi. Sebab tidak ada ongkos.”

Wah, ini sesuatu yang baru bagiku! Bahwa orang tidak mempunyai lima rupiah di dalam kantungnya adalah kenyataan baru bagiku. Perempuan itu menyambung lagi.

“Habis tidak ditengok, ya kasihan. Sering-sering susternya les. Jadi, tidak bisa memberi air. Maka, saya bawakan air.”

“O, umur berapa, Sus?”

“Dua delapan.”

Aku mencoba tersenyum. Tidak berhasil. Kemiskinan telah membuat dia sepuluh tahun lebih tua. Mengerikan.

“Sudah kawin, Sus?”

“Sudah. Anak saya tiga. Yang besar: enam tahun. Yang kecil, enam belas bulan.”

“Senang ya, punya anak.”

“Ya.”

Dia diam sebentar seakan menimbang-nimbang lalu cetusnya, “Tapi, saya sudah tidak jalan benar dengan suami saya. Habis dia di Tegal. Tidak pernah kirim uang untuk anak-anaknya. Jadi, saya beli surat cerai di sini.”

“Jadi, Sus yang bekerja?”

“Bukan. Bapak saya. Kuli ngapur. Begitulah. Kalau dekat-dekat perayaan, banyak kerja. Sekarang ini sedang menganggur. Saya sedang bingung memikirkan ingkos ibu. Sehari lima puluh rupiah. Malah semestinya seratus. Tapi, saya tidak mampu: minta kurang. Boleh jadi hari ini ibu saya boleh pulang. Belum ada uang sepeser pun. Tadi cuma bawa lima rupiah.”

Bagaiman dengan Anda, apakah tertarik untuk menulis sebuah cerpen? Semoga informasi mengenai cerpen Kompas tersebut bermanfaat bagi Anda untuk membantu menulis sebuah cerpen. Selamat mencoba.

Tolong di SHARE :
Tweet
Loading...
Artikel Terkait
  • Uniknya Buku Kumpulan Cerpen-Cerpen Favorit
  • Berkelindan dengan Cerpen Kehidupan - ANNEAHIRA.COM
  • Cerpen Lucu - Obat Stress yang Simpel
  • Menelisik Cerpen-Cerpen Jawa
  • Cerpen-Cerpen Bermakna Filosofis
  • Penulis Kumpulan Cerpen Misteri
  • Belajar Menulis Cerpen Melayu
  • Cerpen Jepang, Pendek tapi Mengena
  • Cerpen Cerita Rakyat Indonesia
  • Menulis Cerpen Narasi Yuk!
Loading...


Beranda | Privacy