Tunaikan Hukum Zakat untuk Kesejahteraan Umat
Ilustrasi hukum zakat
Setiap muslim yang telah memiliki harta hingga mencapai nisab, diwajibkan untuk membayar zakat. Sebagaimana halnya dengan ibadah lain yang diwajibkan, maka dengan sengaja meninggalkan kewajiban untuk membayar zakat, akan mendapat imbalan dosa. Sebab dalam ajaran Islam diyakinkan bahwa pada harta kita, terdapat juga hak orang lain yang harus kita bayarkan. Dengan membayar zakat, maka kita sudah membersihkan harta kita. Demikian hukum zakat menerangkannya.
Dalam hal zakat, setiap muslim sebenarnya berada dalam dua pilihan, yakni membayar zakat atau menerima zakat. Tidak ada jalan ketiga, seperti yang kerap terjadi. Pada satu sisi enggan membayar zakat dan pada sisi lain malu untuk menerima zakat.
Dalam konteks ini, hukum zakat hanya menghadapkan setiap muslim pada pilihan itu; membayar atau menerima zakat. Di luar ketentuan ini, boleh dimasukkan kepada golongan orang-orang yang munafik.
Manfaat Zakat
Secara sosiologis, zakat merupakan mekanisme yang cukup baik untuk mencegah bahaya kelaparan dan menekan angka kemiskinan. Bisa dibayangkan, andaikata setiap tahunnya seorang muslim mengeluarkan zakat 2,5 persen dari harta kekayaannya, maka jumlah yang terakumulasi alangkah besarnya.
Ambil contoh, seorang pengusaha memiliki kekayaan sebesar 40 miliar rupiah, maka kepadanya diwajibkan untuk membayar zakat sebesar 1 miliar rupiah per tahun. Jumlah itu, sudah bisa mencukupi kehidupan 50 rumah tangga miskin selama setahun.
Padahal dari berita di media massa, kekayaan pengusaha-pengusaha muslim di Indonesia banyak yang di atas 40 miliar rupiah. Bahkan, ada berita yang menyebutkan bahwa seorang pengusaha muslim memiliki tunggakan zakat hingga triliunan rupiah. Maka dapat diperkirakan berapa nilai total kekayaannya. Andaikata dia bisa tertib dalam membayar zakat, tentunya ribuan rumah tangga miskin di Indonesia bisa terbantu hidupnya.
Namun, itu semua tentunya kembali kepada pribadi masing-masing. Perlu diperhatikan bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dalam rangka untuk menyelesaikan urusan kebendaan manusia dengan Allah Swt. Jadi, tidak ada gunanya melakukan manipulasi. Petugas pajak mungkin bisa disuap, petugas zakat mungkin bisa dibohongi, tetapi Allah Swt mana mungkin bisa ditipu.
Membayar zakat adalah urusan manusia dengan Allah. Bukan urusan antar sesama manusia. Zakat adalah kewajiban bagi yang mampu. Jadi, tidak ada hubungannya dengan kedermawanan sebab zakat adalah pelunasan utang seseorang kepada Allah yang harus dibayarkan kepada mustahik. Mana ada orang yang melunasi utang bisa disebut sebagai seorang dermawan?
Seseorang yang membayar utang bisa disebut dengan memiliki tanggung jawab moral yang baik, sedangkan yang enggan membayarnya disebut pengemplang yang memiliki tanggung jawab moral buruk. Bukankah begitu hukum sosial yang berlaku di tengah masyarakat?