Puisi Judul Guru: Makna yang Tak Pernah Pudar
Ilustrasi puisi judul guru
Guru adalah manusia super. Melaluinya, lumpur menjadi berlian, loyang menjadi emas. Ia manusia paling berjasa dalam kehidupan manusia. Orangtua melahirkan anak biologis dan guru melahirkan anak intelektual. Puisi judul guru merupakan bentuk ekspresi betapa manusia jenis ini tak lupa dipatri zaman.
Guru adalah kata keramat yang memberi nilai-nilai kehidupan kepada manusia. Jasa guru tak kalah hebatnya seperti orangtua. Ia adalah orang yang mengajarkan ”si bodoh” menjadi pandai, dan ”si kosong” menjadi berisi.
Puisi Judul Guru–dari Ananda untuk Guruku
Masih terngiang dan jelas dalam ingatan
Ketika engkau melafalkan alif, ba, ta, alpha, beta
Segudang tingkah laku, pola kau tampung
Senyummu tak pernah pudar
Menanamkan nilai-nilai
Ya, itulah guru. Orang yang tak pernah lelah mengajarkan huruf dan angka. Kita masih ingat, ketika kita tidak bisa membaca, dan masih tidak mengerti rangkaian kata yang tertera. Lalu, sesosok laki atau wanita paruh baya maju ke depan. Ditangannya, terselip roll panjang, dan kapur. Dengan wajah penuh senyum dan kasih sayang, ia mulai menulis sesuatu di papan tulis.
Kita menatap lugu, menantikan apa gerangan yang tertera di papan tulis. Dengan suara nyaring, ia mulai berujar mengatakan sesuatu yang ditulisnya di papan tulis tadi. Kita mulai mengerti a, b, c, dan angka demi angka. Lalu, kita paham bagaimana merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf dan paragraf menjadi sebuah lembaran catatan.
Jasanya tak terbilang, segala tingkah laku ia hadapi. Canda tawa kita, celotehan, keributan, kecuekan, bahkan makian dari kita yang dididiknya, ia hadapi dan terima. Pahlawan tanpa tanda jasa adalah sematan untuknya. Ya, pahlawan yang memikul cita-cita bangsa dan nilai-nilai luhur kemanusiaan, namun dipudaknya tak tertera tanda jasa. Ia tidak peduli dengan tanda itu.
Mungkin ada kalanya ia menangis, meratapi kekecewaan yang ia hadapi. Kita belum patuh terhadap nasehatnya, sistem pendidikan yang belum memihak dan kekecewaan-kekecewaan lain yang ia hadapi. Namun di depan kita semua, ia tak pernah melupakan senyuman, sebuah tanda keikhlasan dan kegembiraannya sebagai bagian dari penegak cita-cita bangsa.
Guru
Aku belum mampu memberi
Pengabdianmu anugerah terindah dalam hidupku
Kini kumulai mengerti
Setelah kujalani realita kehidupan
Jujur
Aku merasa berat mengenangmu
Bukan kutak berterima kasih
Bukan karena kutlah jadi orang
Tapi kutak tahu kado apa yang pantas
Jasamu adalah lautan
Menenggalamkan apa saja
Guru kaulah pahlawanku
Namamu terukir dalam jiwaku
Terima kasih guruku tersayang
Sebenarnya berat mengenang jasa para guru. Bagaimana tidak, kita mungkin terkagum-kagum melihat orang-orang besar, para ilmuan, peneliti, negarawan, politikus, penulis, sastrawan, dan orang-orang besar lainnya. Namun, tahukah kita siapa yang membuatnya demikian? Tak lain adalah seorang guru.
Mungkin saja, orang yang mendidiknya dulu tak sehebat dia, tak segagah dan sepintar dia. Bahkan guru yang mendidiknya itu masih tinggal di kaki-kaki gunung sana, bersepeda menyelusuri jalan-jalan bebatuan, dan masih sibuk dengan anak-anak desa di sekolah terpencil.
Kalau dunia mengenal dan mengagumi Habibie ”sang Jenius” bangsa yang memang pantas dikagumi itu, namun siapa yang mengawalinya bisa membaca, mengenal huruf dan angka, kemudian dapat membaca dan berhitung, lalu mendalami teori ini dan itu serta menelurkan teori-teori baru?
Puisi Judul Guru-Pahlawan (benar-benar) Tanpa Tanda Jasa
Beratus puisi dan kata teruntai
Meliuk-liuk melambai penuh pesona
Menggambarkan sosok luhur abdi bangsa
Namanya menghias bibir-bibir ungkapan jasa
Dikeseharian dia tetap sama
Berkutat pada kapur tulis dan nilai-nilai angka
Jauh dari ketenaran
Apalagi perbincangan rapat keputusan besar bangsa
Bukankah sudah diberikan gelar pahlawan tanda jasa?
Sangat wajar dan mencerminkan apa yang dilantukan oleh Iwan Fals dengan Oemar Bakrinya. Seorang sosok guru bersepeda butut yang tak berdaya, sebuah pengabdian tulus yang membuat makan hati.
Nasib guru masih sama, pahlawan yang terpinggirkan. Jangan-jangan sematan pahlawan tanda jasa adalah kamuflase ketidakpedulian kita terhadap mereka. Seolah-olah, kita benar-benar menghargai mereka padahal tindak-tanduk kita “menikamnya” dari belakang. Mulut kita bermanis-manis tetapi hati dan prilaku sebaliknya.
Dengan anggaran pendidikan yang digelontorkan, memang terdapat peningkatan terhadap profesi guru, namun bukan berarti sistem yang ada mencerminkan penghargaan besar terhap guru.
Guru adalah orang yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Itu adalah profesinya, dan menjadi tanggungjawab pengabdiannya. Namun dilain pihak, ia dituntut untuk menerapkan sistem pendidikan yang masih banyak berlaku kecurangan. Alhasil, martabat guru sebagai tenaga pendidik dengan sendirinya tercoreng.
Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana pendidikan sekarang berorientasi kepada nilai-nilai berbentuk angka-angka. Ujian Nasional adalah tragedi bagi guru. Nilai-nilai kejujuran yang selama ini dilafalkan, dikhotbahkan, dibacakan di dalam kelas dan saat-saat upacara harus amblas dalam waktu tiga atau empat hari ujian.
Profesi guru semakin hari tampaknya bukan lagi profesi pengabdian tapi sudah mulai dan mungkin menguat menjadi profesi angka-angka. Bukan hanya itu saja, semakin hari guru semakin tidak berdaya. Martabat guru kian tergerus.
Lihat saja berita-berita di media massa, seorang guru dipermasalahkan karena menerapkan disiplin sekolah, hanya gara-gara memangkas rambut anak didiknya yang tidak disiplin. Wewenang guru hanya bisa membacakan nasihat, mengatakan ini dan itu, namun tidak mampu memberikan sanksi.
Teori-teori pendidikan banyak dibicarakan, diteliti, ditulis, dan diseminarkan dalam forum-forum. Namun, karakter pendidikan yang dapat membentuk nilai kepribadian murid disingkirkan dalam praktek pendidikan. Guru tak berdaya. Mereka harus mengikuti sistem dan mengikuti arahan bagaimana kuantitas murid tetap terjaga di sekolah.
Tampaknya kata-kata “mencari murid lebih susah dari pada mencari guru” benar-benar semakin menggema. Akhirnya, berbagai kompromi dilakukan. Benar, guru bukanlah manusia tanpa salah dan dosa. Kekhilafan dan kekurangan guru dalam melaksanakan profesinya tentu ada.
Bagaimana tidak, bermacam tingkah dan pola laku, serta targetan pendidikan harus mereka hadapi dan jalani. Banyak kemalasan dan kenakalan murid, membuat guru lepas kontrol dan belum lagi harus memikirkan target kelulusan.
Kekhilafan-kekhilafan yang ada sebaiknya diselesaikan dengan baik dan kekeluargaan. Tidak lantas buru-buru diselesaikan dalam jalur hukum. Dan bagi orangtua, hendaknya bersikap bijak. Proses pembentukan pribadi tidak semata dengan nasihat dan petuah. Tapi, juga berupa sanksi yang diharapkan mampu merubah sikap dan pola perilaku anak.
Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh guru, tapi juga keikutsertaan orangtua. Anak-anak yang terlalu dimanja dan tak boleh ”disentuh” akan menghalangi pembentukan pribadi anak. Guru tidak akan bisa banyak berbuat sesuatu, jika tidak ada kepercayaan yang diberikan kepada mereka.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Jika memang guru adalah seorang pahlawan maka hargailah mereka. Hargai jerih payah mereka, bantu kekurangan-kekurangan mereka agar penanaman nilai-nilai yang mereka emban dapat tercapai.
Selain itu, hendaknya puisi judul guru benar-benar keluar dari kesadaran dan hati nurani kita. Bukan sekedar hiasan pemanis bibir lalu dilupakan. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca.